Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Suara PGRI edisi Juni 2021.
Kabar tentang bonus demografi yang digadang-gadang
akan terjadi di Indonesia pada tahun 2030 s.d. 2040 telah banyak mendapat
perhatian dari berbagai bidang. Bagaimana tidak, pada saat itu penduduk usia
produktif mencapai 64% dari total keseluruhan, ini artinya akan ada sebuah
energi luar biasa yang mampu menjadi titik balik dari serentetan krisis di
negeri ini. Dunia Pendidikan sendiri menamai generasi masa depan itu dengan
generasi emas!
Idealnya, dibutuhkan kerja bersama yang
saling bersinergi dalam bentuk program-program yang terencana dan terukur. Program
itu seoptimal mungkin bisa menjangkau faktor-faktor penunjang yang memberi
peluang munculnya generasi emas. Dimulai dari keluarga yang kokoh, gizi dan
nutrisi yang cukup, lingkungan yang ideal untuk bertumbuh dan belajar, akses Pendidikan
yang memadai dan terintegrasi dengan kebutuhan masyarakat, jaringan informasi
yang menekan kesenjangan, ruang aktualisasi terbuka lebar, dsb. Apa yang
kemudian di alami oleh calon generasi emas yang sekarang mengenyam bangku
Pendidikan bila ada faktor tak terduga seperti saat ini?
Bila kita fokuskan pada Pendidikan,
sebelum pandemi muncul hasil lulusan kita termasuk rendah. Mengutip dari studi
RISE-SMERU tahun 2018 menuturkan bahwa mayoritas lulusan sekolah menengah
pertama belum menguasai kompetensi berhitung sederhana yang seharusnya dikuasai
pada tingkat dasar(SD). Setelah pandemi berlangsung capaian belajar semakin
menurun, sejumlah penelitian melaporkan sekolah jarak jauh tidak efektif.
Perbedaan kemampuan guru dan fasilitas semakin memperlebar kesenangan antara siswa
kaya dan miskin. Penelitian bank dunia menunjukan hanya dengan belajar daring
selama 4 bulan bisa meningkatkan kesenjangan antara siswa miskin dan si kaya
dari 1,4 tahun menjadi 1,6 tahun. Padahal di masa depan mereka akan mengalami
tuntutan yang jauh lebih beragam dengan semakin pesatnya laju teknologi.
Kondisi ini bila dibiarkan tidak saja akan menimbulkan lost learning
namun juga lost generation.
Tatap muka yang direncanakan pemerintah
akan dilakukan serentak pada tahun pelajaran baru bulan Juli mendatang mestilah
menjadi oase bagi anak didik kita. Tentu tatap muka kali ini tidak akan sama
dengan sebelumnya, dan menjadi kesempatan kita bersama untuk menghadirkan KBM
yang lebih mengena. Meski ada banyak sekali konten materi yang tertinggal ada
baiknya fokus kita yang utama bukan mencambuk anak-anak untuk mengejarnya,
melainkan membantu menyegarkan kembali semangat belajar mereka yang layu karena
tiugas pandemi. Mungkin saat pertama kali mereka masuk, ada banyak
kebiasan-kebiasaan lama yang masih membekas dan terbawa hingga ke sekolah, ada
baiknya tidak lantas kita marah dan menghukun, melainkan bersama-sama kita
bangun kebiasan baru yang kondusif.
Pada tahap awal, tatap muka tidak bisa
dilaksanakan setiap hari, jadi penting bagi kita untuk membuat perencanaan yang
tepat dengan waktu yang terbatas tersebut. Tugas-tugas mestilah dipilih yang
esensial, memotivasi anak didik untuk belajar mandiri, dan tentu saja tetap
menarik. Pertemuan di kelas menjadi selebrasi pemikiran-pemikiran anak didik
yang diakomodir oleh guru. Mari kita hindari terfokus pada koreksi tugas benar
salah yang menjadikan sekolah tepat penilaian semata.
Sistem tatap muka tahun pelajaran
mendatang semestinya mendapat perhatian penuh dari dinas masing-masing kota dan
kabupaten. Kebijakan desentralisasi yang membuat daerah semakin luwes untuk
berkembang harus dimanfaatkan. Pusat telah memberi aturan secara garis besar,
namun inovasi harus muncul dari masing-masing daerah. Transformasi Pendidikan
akan cepat terwujud dengan adanya SDM guru yang mumpuni, namun birokrasi
Pendidikan yang mumpuni yang akan membuatnya mungkin terjadi.
Generasi emas ada di depan kita, belum
saatnya kita menyerah dengan mereka. Masih ada peluang, kita semai mimpi-mimpi
anak didik kita. Tumbuh bersama menjadi bangsa yang maju di masa depan!
Berdayalah Guru Indonesia!
0 Komentar