Ditulis saat belajar dan bekerja di The New You Institute.
Sumber: https://pesantrenmaqi.net/Saat itu tanpa sengaja saya
mendengar pembicaraan rekan kerja saya dengan teman dekatnya melalui telepon. Teman
dekat itu sepertinya meminta pertimbangan mengenai profesinya nanti kedepan dan
pertimbangan ini digunakan untuk memilih jurusan. Melalui pembicaraan panjang,
rekan kerja saya memaparkan betapa tidak berarti dan rendahnya profesi yang
akan dia ambil, dengan selipan bahasa persuasif yang disuguhkan dengan
kalimat-kalimat motivasi sepertinya teman dekatnya itu rela untuk melepas
profesi yang dia minati. Akhir pembicaraan ditutup dengan sorak gembita dari
rekan saya yang memberinya selamat karena dianggap telah memutuskan dengan
benar. Sebagai penyadap yang terseret secara emosional, saya tersadar betapa
banyak kadar jati diri seseorang ditentukan oleh lingkungan. Riset membuktikan 50% kebahagian kita ditentukan oleh
genetik, 10 persen oleh apa yang terjadi pada kita dan 40% berada dibawah
kendali kita(Lyubomirsky, 2006). Angka yang terlalu kecil untuk hidup
bahagia dengan menjadi diri sendiri.
Seringkali kita menganggap
kehidupan telah berjalan sebagaimana adanya, semua terasa baik-baik saja
asalkan tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Menganggap penilain publik
paling akurat untuk menjamin kebahagian kita, lantas kita secara pelan tapi
pasti menanggalkan kepuasan batin kita. Melihat jati diri tidak sesederhana
bercermin, pada saat melihat bayangan Anda dalam kaca dengan pakaian dokter. Orang
disamping Anda mungkin akan mengatakan Anda benar-benar hebat, dan kemudian
Anda meyakini dengan sepenuh hati bahwa dokter sangat cocok dengan diri Anda. Perbuatan
tidak kritis pada pendapat orang tentang diri kita bisa menjauhkan diri kita
dari kebenaran tentang diri kita sendiri, seperti yang diungkapkan Robert A.
Wilson “Never believe anything. Once you
believe anything, you stop thinking about it”. Untuk menemukan jati diri
jangan mudah terpecah karena respon orang lain.
Penemuan jati diri tidaklah
instan, tidak seperti fisik badan kita yang hanya perlu ditumbuhkan. Untuk
menemukan jati diri seseorang harus berproses dengan situsasi, bergelut dan
berkomunikasi dengan individu lain, dihadapkan pada tantangan dan sesekali
dilanda beberapa pilihan keputusan besar yang sebenarnya mengukuhkan seberapa
tangguh kita berani menjadi diri kita.
Bayangkan Anda dalam suatu
perjalanan, pada jarak tertentu akan selalu ada cabang jalan, dan setiap cabang
memiliki cabang lagi, dan bercabang lagi begitu seterusnya. Ini artinya jika
Anda memilih satu cabang jalan, Anda akan terus membuat pilihan untuk mengambil
cabang selanjutnya yang dimulai dengan cabang jalan sebelumnya. Diperjalanan
inilah Anda secara perlahan menemukan siapa Anda sebenarnya. Anda mungkin baru
menyadari bahwa bakat Anda bukanlah menjadi seorang ini atau itu setelah proses
panjang yang menyadarkan Anda pada bakat yang lain. Itulah mengapa kita tidak
boleh terpaku pada jalan, tapi pada tujuan. Namun terus lakukan kontemplasi, pilihlah
apa yang harus dan tidak harus Anda tempuh, kita tidak harus melakukan semua
kesalahan untuk menemukan kebenaran. Hanya gunakan kesalahan sebagai penanda jalan
yang tidak terlihat, dengan begitu resiko Anda untuk tersesat semakin tipis. Perjalanan
sesungguhnya adalah penemuan puzle-puzle jati diri itu sendiri, Anda sedang
bergerak untuk menyusunnya, menyibakkan potongan puzle yang bukan milik Anda
dan mulai merangkai untuk menumukan gambaran utuh diri Anda.
Cerita lain datang dari teman
SMP saya, badannya kecil dan sangat pendek untuk ukuran laki-laki, dibawah bahu
saya. Saat itu guru tata boga meminta setiap anak untuk mempresentasikan manisan
hasil buatan kita masing-masing. Hingga tiba gilirannya, dia maju membawa
setoples manisan tidak penuh. Awalnya dia membuka presentasi dengan nada pelan,
selanjutnya toples mulai bergetar tak karuan membersamai wajahnya yang
kemerahan. Tidak disangka diluar dugaan kami, dia mengeluarkan cairan bening
kekuningan dari celananya, urin. Gelak tawa meledak disetiap sudut kelas. Saat
itu mungkin tidak ada satupun yang membayangkan bagaimana berada diposisinya,
semua terlalu asik menikmati hiburan cuma-cuma disela ketegangan kelas. Setelah
izin keluar, teman saya ini kembali dengan sarung pinjaman penjaga sekolah.
Bagaimanapun, sekembalinya dia adalah perjuangan besar yang perlu kita
apresiasi. Mencoba meneruskan presentasi dengan daya-daya yang masih tersisa
walaupun tahu kembali tidak jauh memalukan dari sebelumnya. Teman saya ini
memiliki ketakutan berlebihan pada saat berbicara di depan umum. Ketakutan
menimbulkan reaksi tidak terkontrol tidak hanya psikis tapi juga fisik.
Dari kejadian ini, teman
saya memiliki dua macam pilihan, meyakinkan dirinya sebagai seorang penakut
yang tidak ahli berbicara di depan, atau dia tidak menyerah dengan keadaan. Kebanyakan
orang menyimpulkan jati dirinya hanya dari satu atau dua kejadian. Bagi saya
itu adalah kejahatan tidak terampunkan bagi diri sendiri, merakit pola pikir yang
pada dasarnya alat kendali tubuh untuk menyerah mentah-mentah pada situasi.
Orang yang memiliki jati diri kuat justru adalah orang yang berani keluar dari
zona nyamannya. Dia bertaruh lebih keras untuk menggapai karakternya. Bila ada
dua orang yang sangat ahli berbicara di depan, satu orang yang jelas-jelas bermental
pemberani dan satu orang lagi adalah teman saya yang terus berusaha menekan
ketakutannya, barangkali keduanya sama-sama berbakat. Satu orang yang berbakat
menampilkan keberanian dan satu orang berbakat berteman dengan ketakutan.
Meskipun jati diri
masing-masing orang terkesan unik dan sangat berbeda satu sama lain. Tapi siapa
yang menyangka jati diri setiap orang justru dibuat berbeda oleh Sang Kuasa
untuk membuatnya saling melengkapi satu sama lain. Seperti reaksi kimia, jati
diri setiap orang adalah unsur-unsur yang bisa berikatan dengan unsur lain
untuk membentuk senyawa. Senyawa-senyawa yang berikatan ini memberikan dampak
yang begitu luar biasa hebatnya untuk kelangsungan dunia. Layaknya kita, ikatan
setiap jati diri yang dimunculkan secara harmonis juga membuat kehidupan
semakin indah, penuh warna dan hidup. Tapi begitu juga sebaliknya, jika kita
berfikir untuk menjadi sama dengan unsur yang lain bagaimana bisa ada
keseimbangan?
Menemukan jati diri dan
hidup sebagai pribadi yang utuh bukanlah sesuatu yang kaku. Sesekali mungkin
langkahnya berbeda dengan yang lain dan dianggap aneh serta tidak taat norma.
Namun pribadi yang telah menemukan jati dirinya justru kembali dengan sinergi
baru untuk membentuk keseimbangan. Dia yakin betul, dirinya bagian dari
kehidupan yang berkewajiban untuk turut serta membina keserasian hidup. Aisyah
Senja Mustika
0 Komentar